Thursday, October 9, 2014

My Journey - 3 "Lucky fella"

Oct' 9th 2014

Masih seperti kemarin, setelah hujan mengguyur, mentari menjanjikan terik hingga membakar ubun-ubun. Masih berkutat dengan beberapa baris not, di dorong oleh kejenuhan akan lembaran-lembaran yang berserakan di meja dekat jendelaku, aku memandang keluar dan panas yang menyengat telah membakar habis sisa-sisa hujan, hanya meninggalkan beberapa tetes di jendela. Kubuka sedikit jendela itu dan angin menyerbu masuk, memaksa lembar-lembar di mejaku bergerak agak liar. ku hirup dalam udara itu sebelum melepaskannya dan bersatu dengan udara lain yang membuat kerusakan ozon bertambah parah, asap-asap kendaraan yang dulunya memenuhi udara mulai berkurang seiring waktu dan perkembangan teknologi, namun aku belum melihat kesadaran manusia akan alam karena baru-baru ini berita tentang kebakaran hutan justru makin marak terdengar.

Aku berjalan menuju dapur hanya untuk mendapati lemari penyimpananku telah kosong dan membiarkan sebuah kaleng kopi tersenyum hampa dari baliknya, kacanya yang transparan tidak memaksakku untuk menyentuhnya karena tidak ada bubuk hitam lekat yang biasanya ada di baliknya, kututup lemari itu dengan helaan berat, Aku benar-benar mengantuk, dan 'penyelamat hariku' telah pergi meninggalkanku, 

Jarak apartemenku dengan kedai terdekat hanyalah limabelas menit jalan kaki, maka kuputuskan untuk berjalan meski mataku terasa sangat berat. Belum rampung kakiku menginjak tangga terakhir, aku mendengar ribut-ribut di lobi, seorang laki-laki memukul seorang bocah dengan kasar, bocah itu terlempar beberapa meter dan peralatan yang dibawanya berserakan di sekitar, mengundang perhatian orang yang berlalu-lalang. 
I think that's not my bussiness tapi darah yang menetes dari sudut kepala anak itu membuatku geram dan seketika mengusir kantukku.
kubereskan perkakas si bocah dan kutarik tangannya, membawanya ke kamarku, sementara laki-laki tadi terus berteriak tak jelas dan orang-orang di sekitarnya mulai tak mempedulikan lagi.

Ia tidak mengeluh saat ku obati lukanya, pandangannya kosong dan saat aku mengajaknya bicara ia hanya diam hingga kusinggung tentang orang tuanya.

"Aku tak tahu siapa ibuku, ayahku seorang nelayan dan belum pernah kembali dari pelayaran terakhirnya dua bulan lalu." katanya sambil menggigit bibirnya.

Bel pintuku berbunyi dan aku menyuruhnya diam disitu sementara aku membukakan pintu. Ah, ternyata dia yang datang, malaikat penolong yang selalu hadir disaat kubutuhkan.

"Di mana anak itu?" tanyanya setelah aku mengambil alih nampan yang berisi menu makan siangku hari ini dan menceritakan secara singkat tentang ribut-ribut di lobi.

Saat kami masuk ke ruang kerjaku, kudapati anak itu tengah mengamati biola yang kubiarkan di luar kotak selama aku bekerja tadi.

"Berapa harganya?" Tanyanya namun langsung dilanjutkan dengan helaan berat "Pasti mahal."

Aku baru akan menjawab saat gadis yang menjadi tetanggaku dan selalu menolongku di saat sulit maju dan menarik lengan anak itu, membawanya ke dapur dan menyulap meja makan yang tadinya kosong dengan hidangan yang pantas di beri dua acungan jempol.

"Kau tadi bertanya soal harga" katanya sembari duduk diantara aku dan bocah tadi. "Tapi aku yakin, Ralf akan berkata bahwa nilai jauh lebih besar artinya daripada harga."

Aku tertawa dan baru akan berkata 'kau benar!' saat kulihat ekspresi si bocah.

"Maaf jika aku merusak suasana meja makan ini, namun bagiku harga adalah segalanya, hargalah yang menentukan hidup mati seseorang."

"Kenapa begitu?" tanya si gadis.

"Well, kalian orang-orang yang lebih beruntung daripadaku tidak akan paham" ada kepahitan dalam nada bicaranya "ngomong-ngomong ini makanan ternikmat yang pernah kumakan sepanjang tahun ini, terimakasih. Dan jika kalian izinkan, aku akan kembali bekerja, katanya sambil meraih kotak yang berisi perkakasnya yang berserakan tadi.

"Kalau kalian butuh tukang semir sepatu, aku ada di samping toko kelontong." Dan dengan menyambar topinya, ia menghilang.

"Sebenarnya dia siapa?" Tanya tetanggaku sambil merapikan piring, dan aku hanya mampu mengangkat bahu, 

-------
L.N

No comments:

Post a Comment